MENJADI MUSLIM YANG LEBIH ISLAMI

Sebuah catatan kecil tentang liku-liku hidup sebagai perantau di Auckland, New Zealand

 

Menjaga jati diri sebagai muslim di mana saja itu sebuah tuntutan keimanan yang tidak mudah mewujudkannya. Namun itu relatif juga, tergantung muslim yang seperti apa yang hendak kita jaga eksistensinya dalam diri kita, muslim ritual atau muslim nilai. Ah apa lagi itu, kok ada dikotomi (pemisahan) antara keduanya. Ingat ketika Jibril mengajarkan apa itu iman, islam dan ihsan? Kesemuanya itu seakan ajaran ritual tentang menjadi muslim sejati. Dan itu tergantung pada masing-masing individu. Misalkan dalam hal menjaga shalat yang merupakan pilar islam nomor dua. Di negara New Zealand, yang nota bene negara sekuler, mau bisa jaga shalat atau tidak itu hampir sepenuhnya tergantung individu muslim. Kami (sendiri maupun bersama keluarga) pernah shalat di mana saja: di kereta, di taman, di pojok parkiran, di stasiun kereta, di ruang kerja; tidak pernah ada masalah, tidak ada yang menyergah atau melarang.

Di negeri sekuler, seperti New Zealand ini, mereka lebih islami dalam hal mengamalkan nilai-nilai keislaman. Saya sebut saja beberapa contoh nilai keislaman yang unggul seperti kejujuran, persamaan hak dan derajat, menghargai dan menghormati, professional, dan persamaan di mata hukum. Maka tidak heran jika menurut sebuah penelitian di tahun 2010 bahwa Irlandia, Denmark dan Luxemburg menjadi juara dan New Zealand menjadi rangking 6 negera pengamal nilai keislaman dalam bernegara. Kami akan coba ulas nilai keislaman yang mereka lebih unggul mengamalkan daripada kita di negara kita, sebagai pemegang rekor jumlah muslim terbanyak di dunia.

Pertama, kejujuran adalah perkara yang amat dijunjung tinggi setiap individu di New Zealand. Di kelas atau sekolah, cheating atau mencontek adalah hal yang sangat memalukan. Pada diri anak ditanamkan jujur dalam berbicara dan bertindak. Berbanggalah atas karya dan “prestasi” yang dicapai dengan usaha sendiri. Guru memberikan penghargaan bagi nilai unggul tiap siswa tidak hanya bidang akademik. Teringat ketika seremonial lulusan kelas enam anak kami, setiap siswa dipanggil maju dengan kelebihan masing-masing. Ada yang disebut sebagai suka membantu guru di kelas, paling ramah, seniman, pembaca buku terbanyak, paling banyak membantu teman sekolah, IT technician, dll sebutan gelar diberikan ke masing-masing siswa sesuai keunggulan mereka. Sementara anak bungsu kami disebut sebagai mathematician, karena unggul di bidang matematika.

Contoh lain aplikasi kejujuran adalah pelaksanaan ujian nasional bagi setingkat SMA atau high school. Ujian ini ditempuh tiga tahun berturut-turut sejak kelas 11 sampai kelas 13 di tiap akhir semester genap (jenjang SMA adalah 5 tahun dari kelas 9 sd 13). Ada dua ujian, ujian sekolah (internal) dan ujian nasional (external) namanya NCEA. Waktu pelaksanaan NCEA, kelas lain (9 dan 10) tidak libur, tetap kelas normal; tidak ada pengawas dari sekolah lain apalagi sampai polisi dan TPI (Tim Pemantau Independen dari universitas). Walau guru berharap semua siswanya mendapatkan nilai excellent, namun saat ujian mereka tidak ada yang melakukan kecurangan dengan membantu menjawab atau memberi jawaban. Bagaimana dengan pelaksanan ujian nasional di negeri kita tercinta? Jawab sendiri deh!

Dengan menjunjung nilai kejujuran ini, banyak perkara jadi mudah dan murah. Dalam urusan administrasi sangat mudah karena asasnya orang memercayai satu sama lain. Sebagai contoh, ketika kami mendapat tagihan donasi untuk sekolah anak, karena kita tidak mampu, kita cukup mengatakan kami orang tua dari siswa ini juga sedang sebagai pelajar jadi belum bisa berkontribusi dalam sumbangan sekolah. Gak perlu bukti surat tetek bengek. Langsung rincian donasi dihapus dari catatan yang harus kita bayar.

Beberapa kali membantu supervisor menjaga ujian mata kuliah yang beliau ampu menjadi pengalaman berharga. Ujian di ruang besar, seperti theatre, peserta lebih dari 200 mahasiswa, ujian esai bukan pilihan ganda. Dari sekian banyak peserta, yang sering melakukan cheating (kecurangan) dengan cara bercakap dengan teman waktu ujian adalah mahasiswa dari negara arab yang nota bene mereka adalah muslim. Yang lainnya anteng sibuk mengerjakan ujiannya sendiri. Malu rasanya, sebagai sesama “saudara” kok bertingkah yang tidak islami.

Plagiat atau mengambil karya ilmiah orang lain sebagai karya sendiri atau tanpa pengutipan sumber rujukan yang memadai adalah kejahatan. Pengalaman pribadi, ketika oleh supervisor disuruh menyiapkan publikasi, tak tanggung-tanggung dua paper sekaligus, saya setor draft dua paper dengan bagian introduction yang hampir sama kecuali bagian aim atau tujuan. Langsung dikembalikan dan diberi tahu ini tidak boleh, karena sekali nanti sudah dipublish akan menjadi milik publisher dan introduction di paper kedua akan dianggap plagiat. Walaupun kedua paper tersebut karya kita sendiri. Akhirnya harus dirombak total.

Contoh lain atas kejujuran adalah jika ada barang ketinggalan, insya Allah akan ketemu. Suatu ketika kartu ATHop (kartu pra bayar untuk naik kendaraan umum) anak bungsu kami ketinggalan di pusat keramaian di sekitar Britomart Transportation (kawasan terminal bis dan kereta api  dan ferry) dan sadar ketika sudah sampai rumah yang perlu waktu jalan kaki sekitar 15 menit sekali tempuh atau 30 menit pulang pergi. Ketika ditelusur balik kartu masih tergeletak di tempat mana tadi duduk. Bayangkan apa yang tejadi jika kartu semacam ini tertinggal di tempat kita!

Di dunia kerja lain lagi ceritanya namun tetap menggambarkan bagaimana nilai kejujuran diri dijunjung tinggi. Teman kami, alumni ITS, bekerja di Beca Indonesia, kemudian dipindahkan ke Auckland. Salah satu yang menjadi pertanyaan keheranan dia ketika pertama kali masuk kerja adalah mengapa tidak ada clock in dan clock out di kantor, sebagai bukti bahwa dia masuk kerja? Dijawab koleganya, kerja itu tanggung jawab pribadimu, mengapa harus orang lain yang mengontrol! Bandingkan dengan kewajiban PNS yang harus setor kehadiran dengan finger print 4 kali sehari, saat masuk dan pulang serta saat mulai dan masuk kembali dari istirahat ishoma.

Tujuan tulisan ini bukan untuk menjelekkan negeri sendiri, sama sekali bukan. Sebuah keburukan yang sudah menjadi kebiasaan tidak terasa lagi keburukannya. Ketika kita berada di dalam rumah dan diberi tahu orang bahwa rumah kita miring tentu kita tidak percaya. Kalau kita keluar dan memandang rumah kita dari luar, baru kita sadar bahwa betul memang rumah kita miring. Mari memulai perubahan menjadi lebih baik, dari diri sendiri tentunya.

(Oleh: Mahros Darsin, 22 November 2017 ditulis di sela menunggu hasil simulasi di program ANSYS dan ABAQUS)