Seri Cerita Mengejar “Doctor of Philosophy” – Antara Ekspektasi dan Realita

Pada kesempatan kali ini, izinkan saya bercerita tentang suatu pelajaran yang saya dapatkan dalam menjalani studi doktoral saat ini.

Sebelum berangkat studi S3, ekspektasi saya tentang Doktor adalah saya nantinya akan “mengajukan (propose) suatu desain baru”, “meningkatkan atau memperbaiki kinerja suatu sistem tertentu”, “menemukan suatu metode yang baru”, . . . . Hal inilah yang saya bayangkan, segala sesuatunya berkaitan dengan yang baru, invensi yang baru dan waaah.

Singkat cerita, berangkatlah saya untuk studi PhD pada akhir tahun 2017 dengan topik yang telah ditentukan pembimbing, yaitu tentang nonlinear and structural dynamics. Ya, saya memang sengaja tidak membawa atau mengajukan topik riset. Tapi, saya lebih memilih untuk ngikut sajalah risetnya, kali saja supervisor mempunyai riset yang sedang berjalan. Rencananya riset yang beliau kerjakan akan saya improvisasi agar lebih optimal kinerjanya. Alasan lainnya adalah untuk jaga-jaga kalau sistemnya sudah dicoba untuk dikontrol tetapi efisiensinya gak naik, diganti komponennya, kinerjanya juga tidak naik, setidaknya beliau bisa meng­-cover saya. Setidaknya beliau telah berpikir lebih jauh tentang topiknya dan akan bertanggung jawab kalau suatu saat stuck di tengah jalan. Karena hal ini menyangkut dengan continuity dari rencana risetnya. Strategi ini lebih saya pilih daripada membawa topik saya sendiri.

Enam bulan pertama, saya habiskan untuk “Amati” (me-review) dan “Tiru” paper tentang nonlinear and structural dynamics yang telah terbit yang diberikan oleh supervisor. Selanjutnya, dengan pede-nya saya lanjutkan untuk “Modifikasi” model-model yang telah ada. Ya, prinsip Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM) ini sudah masyhur di bidang engineering. Di akhir tahun pertama studi PhD, saya ajukan lah suatu model yang telah saya modifikasi. Saya buat dalam suatu report beserta dengan literature review untuk menunjukkan bahwa model tersebut belum ada yang meneliti. Selain itu, saya berikan hasil analisis simulasi bahwa model yang saya ajukan ini dapat meningkatkan efisiensi atau kinerjanya dibandingkan dengan model terdahulu. Report tersebut saya per-detail sehingga seperti siap untuk dipublikasi.

Alangkah kecewanya pada waktu itu, 6 bulan melakukan literature review ditambah dengan 6 bulan memodifikasi, tetapi supervisor seperti kurang berkenan dengan apa yang saya ajukan. Padahal, aspek dari sisi keterbaruan, sudah terbukti dari literature review! Aspek dari sisi meningkatkan performa, sudah terbukti melalui simulasi! Mungkin apa scope saya masih sempit? hanya berkutat di area nonlinear structural dynamics. Tiga bulan selanjutnya saya kembangkan riset saya ke arah electromagnetic agar menjadi suatu studi multiphysics tentang interaksi antara electromagnetic dan structural mechanics. Saya ajukan lagi model yang lebih complex ini. Seperti sebelumnya, saya beri bukti dari simulasi bahwa sistem tersebut bekerja dengan baik, dan tidak lupa menambah literature review untuk mendukung pendapat saya. Sistem report saya perbaiki lagi biar supervisor lebih bisa memahami isinya. Second Attempt!

Gagal lagi!

Oh, mungkin kurang data eksperimen kali ya! Tiga bulan selanjutnya saya habiskan untuk melakukan eksperimen dari suatu sistem electromagnetic beserta dengan kontrol-nya, pun hal ini belum menarik supervisor untuk publikasi. Ah, mungkin kurang complicated model saya. Next attempt, saya expand ke fluid-structure interaction (FSI). Pada titik ini, saya mulai mencurigai cara berpikir saya yang tidak sinkron dengan supervisor daripada mencurigai konten materi riset saya. Alhamdulillah, akhirnya saya sadar. Saya selalu ingin mengajukan suatu model yang baru, yang meningkatkan kinerja / performa / efisiensi, yang complicated / advanced. Padahal banyak detail fenomena pada model lama yang belum terungkap! I missed out the details! 

SubhanAllah, membutuhkan waktu 2 tahun (lebih) bagi saya untuk bisa menyadari hal tersebut. Pemikiran tersebut seperti telah mengakar. Saya tidak tahu apakah pemikiran tersebut karena memang saya pribadi atau ada pengaruh eksternal. Flashback pada saat studi Magister, salah satu tujuan riset saya waktu itu adalah “Untuk mendapatkan model matematis yang valid”. Model matematis yang valid maksudnya adalah error antara hasil simulasi dan eksperimen kurang dari 10%. Saya ingat pada waktu, saya ubah suatu komponen pada sistem eksperimen saya, tapi error masih belum sesuai target. Saya integrasikan komponen lain pada sistem saya, error juga masih belum memuaskan.  Pokoknya entah bagaimana caranya, yang penting menghasilkan error < 10%. Waktu itu juga targetnya adalah “agar energi listrik yang dihasilkan dari regenerative shock absorber dapat disimpan dalam baterai (aki)”. Blusukan ke toko-toko bekas untuk beli kanibal komponen A, B, C agar target tersebut bisa tercapai.

Lebih extreme-nya lagi, terkadang saya pernah mendengar bahwa ada juga pembimbing yang simply menginstruksikan untuk “balik ambil data lagi sana, kalau hasilnya bagus, baru kesini!”. Tidak heran kalau sampai ada yang molor studinya gara-gara hal seperti ini. Ada juga supervisor yang sangat disappointed kalau error mereka masih tinggi, seperti seolah-olah kerjanya masih salah. Sehingga mereka berusaha ngakali agar bisa mencapai target. Throwback to undergrad, dahulu malah lebih under pressure lagi kalau ternyata sewaktu penelitian, kenaikan efisiensinya sedikit, alatnya bekerja gak sesuai harapan (banyak noise-nya seumpamanya).

Dari sini saya belajar bahwa saya terbiasa mempunyai target/parameter yang jelas. Dari sini pulalah saya mengerti kenapa saya menjadi orang yang membutuhkan suatu instruksi yang jelas, daripada dilepas bebas. Hal itu pulalah yang membuat saya berpikir bahwa saya harus mengajukan suatu model yang baru, saya harus bisa meningkatkan efisiensi dalam PhD saya. Karena, judgement kesuksesannya mudah, bisa mencapai target tersebut atau tidak! Bisa meningkatkan efisiensi apa tidak! Kalau bisa mencapai target tersebut, berarti dapat PhD!

Pada akhirnya, saya mulai mengubah pandangan saya tentang bagaimana memandang suatu permasalahan, khususnya tentang riset. Dahulu, tujuan riset PhD saya adalah “to develop a device capable of …”, yang mana outputnya sangat jelas dan terukur, sekarang menjadi “to contribute to the development of a device capable of ….”. Ya, saat ini outputnya menjadi abstrak! Saya tidak membatasi pada suatu target tertentu. Karena prinsip riset adalah “keep pushing until you make a dent” (saya lupa perkataan siapa). Sehingga bisa jadi saya tidak mem-propose model baru, bahkan bisa jadi tidak meningkatkan efisiensi suatu device tersebut. Tetapi, saya berkontribusi untuk menjawab suatu fenomena yang belum terjawab atau mengisi missing piece pada puzzle dalam bidang riset tertentu, Biidznillah (dengan izin Allah). Sehingga orang lain bisa melihat puzzle tersebut lebih jelas.

Saya merasa saat ini juga masih banyak mahasiswa yang mempunyai pemikiran seperti saya dahulu. Seringkali saya mendengar mahasiswa kehabisan ide untuk riset dengan berkata “Wah, ternyata model ini sudah diteliti ya!”, “Wah, alat tersebut malah sudah dipasarkan!” dan wah wah yang lain. Hal ini, saya suspect, barangkali mahasiswa masih berpikir bahwa risetnya adalah suatu kombinasi yang menghasilkan sesuatu yang baru. Agar tidak terjebak seperti saya, alangkah baiknya mahasiswa mulai diajarkan suatu mindset yang berbeda. Mahasiswa tidak hanya diajari untuk mem-propose puzzle baru dalam riset, tetapi juga mengisi puzzle yang telah ada.

Mahasiswa mulai diajak untuk melihat sesuatu yang detail, agar tidak kehilangan momentum critical thinking-nya. Hal ini bisa dilakukan dengan memunculkan riset-riset dengan tujuan yang lebih membutuhkan analisis lebih dalam seperti “to further the understanding…”, “to extend…”, dan lain sebagainya. Daripada menarget “… Agar luaran voltase sistem tersebut di atas 12V”, diubah menjadi “… Berkontribusi dalam pengembangan sistem yang mempunyai luaran di atas 12V”. Pada akhirnya, luaran > 12V hanyalah suatu bonus. Esensinya adalah bagaimana mahasiswa tersebut berpikir kritis, menginformasikan kepada orang lain dengan detail kenapa saya sudah bisa atau belum bisa mencapai target tersebut, apa konsekuensi dari metode tersebut, bagaimana data itu diolah hingga mendapatkan hasil yang bagus, dsb.

Prosesnya lah yang kita hargai, proses kecil-kecil yang mereka sering tidak sebutkan dalam tugas akhir mereka. Proses yang mereka lebih pilih disembunyikan karena takut nantinya diserang penguji, karena takut kalau ditampilkan hasilnya menjadi jelek! Insya Allah, kalau berorientasi pada hal ini, mahasiswa menjadi lebih rileks (tidak tertekan), yang pada akhirnya menumbuhkan sikap honest, seperti yang Pak Mahros utarakan pada artikel “Menjadi Muslim yang Lebih Islami”.

—————————————————–

Pertanyaan yang timbul pastinya: Lha terus, kamu kan tidak punya target yang jelas? Sampai kapan kamu mengisi puzzle untuk studimu? Sampai pada tahap apa ini dinyatakan cukup dan bisa lulus? Seberapa banyak nanti kontribusimu terhadap bidangmu? Benar, saya merasa melakukan riset seperti tanpa ada batas yang jelas. Kita tunggu saja cerita selanjutnya, Research without borders, Biidznillah (dengan izin Allah).

—————————————————–

Oleh: Skriptyan Syuhri

Beliau adalah Alumni S-1 Teknik Mesin Universitas Jember angkatan (masuk) 2008, yang saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor di James Watt School of Engineering (JWSE), University of Glasgow (UofG).